Menguji Keabsahan Eigendon Verponding 6329
Melanjutkan dari insight IDN sebelumnya, pihak ketiga yang sekarang sedang memperkarakan tanah itu adalah komunitas yang menamakan diri Paguyuban Tanah Galian. Seperti diakui Ketua Paguyuban Tanah Galian Edy Padeng, persoalan lahan di Galian sudah berlangsung lama. "Sejak awal 2000-an pengacara Servas Sadipun sudah membantu kami. Proses pengadilan berlangsung hingga sekarang", ujarya.
Menurut Servas Sadipun, semula dia menggunakan dokumen seadanya, yakni girik yang dimiliki oleh masyarakat. Namun, dalam perkembangan sidang yang sekian lama, pihaknya terus mencari dokumen lain yang lain lebih meyakinkan. Pada 2016, dengan berbagai pengujian yang ketat dan serius akhirnya Servas menemukan dokumen Eigendom Verponding nomor 6329. Pemiliknya adalah Bob Goldman, yang karena sudah meninggal, dipegang oleh istrinya sebagai ahli waris, Nur Helis Binti Undang.
Dengan dokumen itu, akhirnya Servas mendapat kuasa hukum dari pemilik Eigendom Verponding untuk terus memperjuangkan kasus tanah Galian. Sejak dua tahun silam, sebagian warga sudah mendapatkan Surat Penyerahan Hak (SPH) dari ahli waris tanah. "Karena itu yang berjuang sekarang adalah pemilik ahli waris bersama Paguyuban."
Servas mengakui semangat membela kembali mencuat sejak dia mengantongi dokumen tanah yang bernama Eigendom Verponding tersebut. Karena berdasarkan Surat Kepala Kantor Pertanahan Kotamadya Jakarta Timur, dalam jawaban tertulis yang ditujukan kepada Komandan Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma tertanggal 12 September 2003 dengan nomor 710/600/III/PT/JT/2002, perihal keterangan atas bidang tanah dalam bidang Peta LP. DKI Lembar 53/54 terletak di kotak B-C-D/3-4-5 dan lembar 54/55 kotak A-B-C/4-5 menyimpulkan tanah yang dikuasai TNI AU di Cipinang Melayu tersebut merupakan Tanah Bekas Eigendom Verponding nomor 6329.
"Dokumen itu yang sering dipakai para pihak untuk mengklaim bahwa tanah itu adalah tanah negara. Padahal mereka sendiri tidak memiliki dokumen. Kami memiliki dokumen itu bersama ahli warisnya," demikian Servas sambil memperlihatkan dokumen tersebut.
Tercatat di Kantor Agraria
Bahkan, dia meyakini keabsahan dokumen itu sudah sangat teruji. Karena dokumen Eigendom Verpondng 6329 tercatat secara legal pada Balai Harta Peninggalan (BHP) dan Direktorat Agraria pada 8 Janauari 1980. Selain itu, juga telah dikukuhkan Kepemilikan Hak Mewaris di BHP dengan nomor W.10.AHU.1.089.AH.06.09 Tahun 20014/08/III. Juga Surat Pengukuhan Hak Waris dari BHP sesuai nomor W.10.AHU.I UM.01.0.130 tertanggal 20 November 2014.
Tak sampai di situ, bahkan Surat Konstelasi Arsip Nasional tahun 2016 menegaskan bahwa bukti kepemilikan Tanah Galian Kampung Dua Ratus, adalah Eigendom Verponding no. 6329, bukan girik atau hak milik adat. Juga ditemukan surat keterangan Wasiat dari Menkunham tertanggal 12 Desember 2017, bahwa ahli waris dari Eigendom Verponding no. 6329 adalah Bob Goldman.
Boleh saja pengacara yang mewakili ahli waris memiliki keyakinan demikian teguh. Namun, proses pengadilan masih berlangsung. Pekan ini pada 27 Novermber, penggugat akan menyampaikan duplik di Pengadilan Jakarta.
Tentu saja pihak tergugat memiliki argumentasi tersendiri. Menurut pengacara Pangkalan TNI AU Halim Perdanakusuma, Azhari, bersama Dedi Setiawan dan Maryono dalam eksepsi dan jawaban dalam sidang pada 20 November 2019 tetap berkayakinan bahwa tanah yang disengketkan adalah tanah negara dan terdaftar sebagai Invetaris kekayaan Negara dengan Nomor Registrasi 50502001.
Seperti jawaban terhadap gugatan Jaberlin sebelumnya, juga atas pengajuan dokumen Eigendom Verponding 6329, Azhari tetap merujuk pada Surat keputusan Kepala Staf Angkatan perang (KSAP) Nomor 023/P/KSP/50 tertanggal 25 Mei 1950 yang menyatakan bahwa lapangan terbang serta bangunan yang merupakan bagian dari lapangan terbang dan alat-alat yang berada di lapangan dan sungguh-sungguh diperlukan untuk memelihara lapangan tersebut menjadi milik AURI.
Lebih lanjut, pihak Angkatan Udara berpegang pada sejarah tanah sejak diambil oleh pemerintah pendudukan Jepang. Dalam lanjutan surat edaran Nomor Agr.40/25/13 1953 dikatakan soal tanah yang sebelumnya diambil kolonial Jepang sesudah akhir tahun 1953, permintaan uang tambahan kerugian atau permintaan kembali tanah-tanah peninggalan Jepang oleh bekas pemiliknya tidak akan diperhatikan lagi.
Keputusan itu kemudian dikuatkan lagi dengan surat dirjen Agraria a.n. Mendagri No. 593/III/Agr. tertanggal 7 Januari 1983 perihal penyelesaiaan tanah rakyat yang diambil oleh Pemerintah Jepang, bahwa sejak akhir 1953 permohonan ganti rugi atau permintaan kembali atas tanah tidak dapat dilayani lagi.
Tentu saja perdebatan secara legal akan panjang lebar. Misalnya, apakah, lokasi yang diributkan itu adalah bagian yang benar-benar diperlukan untuk lapangan udara seperti yang ditegakan oleh KASP? Kalau diperlukan, mengapa dibiarkan terlantar, atau mengapa dibiarkan untuk sebuah proyek yang lain, seperti jalan tol dan sekarang ini untuk proyek rel kereta api. Atau kalau lokasi itu adalah bagian yang dimaksudkan dari pendudukan Jepang, mengapa saat Eigendom itu dicatatkan di Direktorat Agraria pada 1980, tidak diabaikan saja?
Tentu saja kita tidak bisa menduga ujung dari proses pengadilan tersebut. Namun, yang menjadi kekhawatiran kita sebagaimana kekhawatiran warga yang terkena dampak penggusuran, mengapa kasak-kusuk pembebasan lahan di lapangan sudah dilakukan sementara kasus tanah masih dalam proses gugatan masih berjalan?
Itu alasan yang mendorong sebuah lembaga swadaya masyarakat, Aliansi Indonesia, memberikan atensi dan simpati terhadap warga terkait kasus pembebasan lahan tersebut. "Mestinya pelaksana proyek menahan diri sambil menunggu proses pengadilan selesai. Karena itu kami bersikap untuk berada di belakang warga memantau perkara ini. Ini berhadapan dengan yang memiliki kuasa dan uang," ujar H. Djoni Lubis, Ketua Aliansi Indonesia saat bertemu warga Tanah Galian, Kamis (21/11/2019).
Penulis sempat meminta penjelasan persoalan ini kepada Kementerian Pertanahan. Dirjen Pengadaaan Lahan, Arie Yuriwin yang sedang berada di luar kota menganjurkan untuk menemui dan menanyakan persoalan itu kepada Kepala kantor Pertanahan Jakarta Timur. "Saya lagi di luar kota, mohon berkenan hubungi Kepala Kantor Jakarta Timur," ujarnya.
Kepala Kantor BPN Jaktim, Samsu Bahri, mempercayakan stafnya, Margo Sumarno, untuk menjelaskan persoalan ini. "Pada prinsipnya untuk persoalan ini kami tunggu pada keputusan pengadilan. Apalagi sekarang ada sejumlah gugatan yang masuk ke pengadilan. Sekarang ini kita mesti sabar dengan tuntutan warga" demikian Margo, pegawai pada Bagian Pengadaan Tanah Kantor BPN Jaktim.
Hanya saja pernyataan pejabat BPN itu berbeda dengan yang terjadi di lapangan. Karena dari pantauan penulis, hingga akhir bulan November (23-24 November), alat-alat berat seperti eksak pelan-pelan mulai merangsek masuk dan meratakan sejumlah bidang di lokasi yang menjadi sengketa. Lebih dari itu, dalam berbagai pemberitaan di media, para pelaksana proyek terus berkoar-koar kalau urusan pembebasan tanah di lokasi proyek sudah mencapai final.
Misalnya pernyataan Arie Yuriwin saat penyerahan dokumen hasil pengadaan tanah kepada PT PSBI menegaskan rasa optimisnya bahwa peroses pengadaan tanah akan tuntas sebelum akhir tahun ini. Dan saat ini, proses pembebasan sudah mencapai 98,95 persen (Bisnis, 17/9/2019). Bahkan, pada kesempatan yang sama, Dirut PT PSBI, Natal Pardede mengakui bahwa pembebasan tanah tidak ada masalah dan nilai pengadaan lahan di Jakarta Timur hampir mencapai 700 miliar.
Pihak Wijaya Karya yang dihubungi untuk menanyakan persoalan pembebasan lahan justru menyerahkan hal itu kepada PT PSBI sebagai pelaksana proyek. "Kami hanya salah satu koordinator, tapi urusan pembebasan lahan mesti bertanya ke pihak pelasakana seperti PSBI," ujar Mahendara, Corporate Secretary PT Wijaya Karya Tbk.
Apapun persoalannya, mengingat strategisnya proyek ini, kita berharap agar pengerjaannya berjalan lancar dan selesai tepat waktu pada 2021 mendatang. Namun dengan catatan, semoga proyek prestigius itu tidak dibangun dengan darah dan air mata para warga Tanah Galian, pemilik tanah, ataupun penggarap. Mungkin akan lebih elok kalau pemerintah sebagai pemilik proyek bisa menimbang keabsahan Eigendom Verponding 6329. (ARM)