Kredit sektor ESG, upaya BCA dukung debitur lebih environment friendly
JAKARTA - PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) mengucurkan pembiayaan ke sektor Keberlanjutan (Environment Social Governance/ESG) sebesar Rp 181,2 triliun atau 24,3% dari total kredit Rp 735,9 triliun per semester I 2023. Pembiayaan emiten ini ke sektor tersebut sejalan terhadap program pemerintah mengejar program net zero emission 2060.
Sebagai konstituen Indeks52, indeks yang diinisiasi Tempo.co dan IDNFinancials, emiten perbankan ini dapat dikatakan pioneer dalam pembiayaan ke sektor ESG. Tentang latar belakang dukungan tersebut, IDNFinancials.com berkesempatan mewawancarai Vera Eve Lim, Chief Financial Officer (CFO) BCA di Menara BCA Jakarta, kemarin (2/8).
Apa alasan BCA mendukung pembiayaan ke sektor berkelanjutan?
Kami terus mendukung program pemerintah terkait keuangan Keberlanjutan. Dari tiga komponen ESG ini, Governancenya dari industri perbankan, dimulai jauh sebelum ramai dibicarakan soal ESG. Setelah krisis keuangan 1998, memang bank di Indonesia cukup terpuruk, dan setelah itu kami belajar banyak, regulator juga belajar. Kami berupaya menjaga kinerja. Kami miss di tahun 1998, di situlah (pentingnya,red) GCG (good corporate governance). Banyak sekali perubahan di standard perbankan sejak itu. Kita tahu bahwa industri perbankan adalah industri yang high regulated, the most regulated company. Jadi, ESG buat perbankan G-nya (governance,red) itu sebenarnya bukan hal baru. Dari tahun 2000-sekarang, kami sangat fokus di area GCG.
Dari area Sosial, ini area yang sangat kami perhatikan karena mencakup layanan ke nasabah, customer satisfaction, customer protection, customer education. Itu semua ada di area Sosial. Kami banyak berinvestasi, memperhatikan hal di area Sosial.
Sekarang tentang Environment, kami menyambut program pemerintah, tunduk kepada aturan yang digariskan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Pembiayaan keberlanjutan di BCA saat ini mencapai hampir 25% dari total bisnis kami, sudah qualified sustainable financing. Untuk sektor Keberlanjutan, total pembiayaan mencapai Rp 181 triliun. Kalau flashback lima tahun yang lalu, (pembiayaan ke sektor ini,red) mungkin sangat rendah. Dari sektor-sektor di Keberlanjutan ini kami pilah-pilah karena sektornya semakin hari semakin luas. Saya lihat dalam tiga tahun terakhir dan pembiayaan yang cukup meningkat tajam yaitu, area yang renewable energy, energi yang lebih efisien dan bisnis line yang mendukung environment yang lebih baik, itu pembiayaannya juga meningkat.
Tiga tahun ke depan, target pembiayaan sustainable financing di BCA akan terus tumbuh. Hari ini 25% dari total bisnis, lima tahun yang lalu sangat kecil. Jadi, tiga hingga lima tahun ke depan, pembiayaan sektor ini porsinya bisa meningkat. Apakah akan mencapai 50%? Mungkin tidak, karena bank akan fokus juga ke sektor-sektor lain, misalnya, sektor konsumsi, seperti Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), dan yang lain-lain.
Demand terhadap pembiayaan sektor keberlanjutan ini juga meningkat terus. Tentu, ini perlu juga didukung oleh kebijakan pemerintah. OJK memperkenalkan green taxonomy. Tahun ini kami complaint, melaporkan 450 debitur, kami focus di corporate yang dimulai mappingkan sebagai green taksonomi. Memang industri yang dibiayai bank itu sangat luas. Kebijakan antardepartemen untuk mengatur industri per industri agar lebih masuk ke energi yang lebih environment friendly, itu perlu diatur. Jadi, perlu integrasi karena bank tidak bisa create trade. Kami following trade yang porsinya membiayai. Bagaimana industri tersebut bisa lebih bagus lagi dari sisi environmentalnya, perlu didukung dari masing-masing kementerian yang mengatur sektor tersebut. Kalau itu diintegrasikan dan OJK juga mengharuskan bank menilai sektor-sektor hijau atau tidak hijau, itu akan ter-create sinergi yang lebih bagus.
Apa sektor usaha di renewable energy yang menjadi concern pembiayaan BCA?
Kalau saya boleh pakai kata, mungkin bukan concern, tapi bagaimana kami dapat mengencourage industri per industri semakin hari semakin environment friendly. Mulai tahun ini, BCA masuk ke emisi carbon Scope 3. Ini scope yang jauh lebih tinggi karena scope 3 itu kami sudah mulai masuk menghitung, berapa emisi carbon yang dihasilkan atas portofolio yang dibiayai BCA. Dalam hal ini kami tidak bicara operasional bank lagi. Operasional bank dalam tiga tahun kami sudah mulai, bagaimana menghemat emisi carbon melalui operasional bank. Jadi, banyak sekali kami mengencourage recycle. Kalau bicara tiga tahun yang lalu mungkin itu tidak kelihatan, tidak ada di BCA. Hari ini mesin EDC ada yang rusak, mau diapakan mesinnya. Dulu mungkin kami buang. Kemudian, kartu-kartu plastik (debit dan credit card) kan ada yang tidak bisa dipakai lagi. Nasabah kembalikan ke bank diganti. Kartu plastik dikumpulkan setahun volumenya 1 ton, itu juga waste. Jadi, sebenarnya dilingkungan operational bank itu ada elektronik waste, itu sebenernya sangat tinggi. Apalagi lebih banyak digital transaksi.
Mulai sekarang kami upayakan waste ini, kalau bisa zero waste ke TPA. Bagaimana dipretelin, besinya dikumpulin, plastiknya diolah dan sebagainya. Ini perlu effort khusus sebenarnya. BCA pada tahun lalu menghemat hampir 2.000 ton CO2 ekuivalen (CO2e) hanya melalui proses terkait dengan waste. Bagaimana mempush lebih banyak digital atau transaction, bagaimana ruang kerja cabang itu lebih hemat energi, kami juga focus di sana.
Scope 3 tidak cukup di sana kita juga harus menghitung emisi carbon yang dihasilkan portofolio yang kami biayakan. Pada tahun ini sudah mulai. Jadi, harapan kedepannya kami mau mengencourage debitur kami di semua sektor agar emisi carbon yang dihasilkan berkurang. Kami fokus di debitur korporasi, (pembiayaan,red) korporasi itu 44% dari total kredit. Jadi, ini PR karena mesti satu bahasa dengan industri tersebut, perlu effort dan perlu waktu. Jadi yang positif adalah kalau bank sudah memulai, tentu bank akan bicara dengan setiap debitur dan kami mengencourage debitur fokus agar lebih environment friendly. Kedepan kami akan pikirkan insentif, membantu debitur. Kami mengundang expert untuk sejumlah industri tertentu untuk membantu debitur. Jadi, ada yang perlu sertifikasi dan sebagainya.
Apakah insentif itu hanya ke sektor usaha yang mengurangi emisi carbon?
Scope 3 itu emisi carbon itu untuk seluruh pembiayaan yang diberikan ke debiturnya sudah bagus atau belum. Jadi, semua harus kami hitung dengan kata lain ini menjadi PR buat kami bagaimana kalau datanya sudah ada kami harus kembali ke setiap debitur untuk diskusi. Dalam hal ini tentu perlu dukungan kebijakan dari masing-masing industri agar istilahnya gayung bersambut.
Untuk debitur korporasi mereka tidak hanya mengandalkan funding dari bank. Mereka akan mengandalkan funding dari capital market. Mereka juga butuh pembiayaan, tidak mungkin mengandalkan pembiayaan dari satu bank, corporate itu bisa dari tiga-lima bank, termasuk bank asing. Jadi, kalau bank yang membiayakan mulai memperhatikan ini, saya pikir corporatenya juga akan punya effort masuk ke operational yang lebih environment friendly. Saat ini, kami sudah melihat paling tidak sudah ada 20% debitur yang mulai mengarah ke sana, mulai mengumpulkan data emisi. Ini perlu waktu karena sebelumnya kami tidak bicarakan. Ini ada debitur yang mulai lebih advance. Jadi malah ada debitur yang malah mengajak kami diskusikan soal roadmap tiga tahun ke depan. Jadi, ini adalah satu journey. Kami mesti lihat dari sisi positifnya. Saya bayangkan tiga tahun dari sekarang akan jauh lebih baik. (LK)
Bersambung...