UU Kepailitan & PKPU di Indonesia perlu disempurnakan untuk hadapi persaingan global
JAKARTA. Undang-undang tentang Kepailitan dan PKPU (Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dinilai perlu disempurnakan, untuk menghadapi persaingan global dan menjaga iklim bisnis agar tetap kondusif.
Rabin Indrajad Hattari, Sekretaris Kementerian BUMN, mengatakan hal tersebut dalam Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 yang digelar pekan lalu. Dalam pidato utamanya, Hattari menegaskan bahwa Kementerian BUMN tetap berkomitmen untuk menjadikan ekosistem usaha BUMN secara berkelanjutan.
Hattari menyatakan PKPU dapat menjadi solusi alternatif untuk proses restrukturisasi, asalkan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan perusahaan serta dikelola dengan baik. “Proses PKPU perlu dilakukan dengan persiapan yang matang dengan memitigasi risiko dan mengedepankan tata kelola yang baik,” kata Hattari.
Sementara itu Darius Tay, Direktur BlackOak LLC dan salah satu pembicara dalam konferensi tersebut, mencontohkan implementasi hukum kepailitan di Singapura yang terus disempurnakan. “Singapura terus memperbaiki kerangka hukum dalam penanganan masalah kebangkrutan dan insolvensi,” ujarnya.
Tidak hanya itu saja, kata Tay, industri profesional insolvensi di Singapura juga terus menyumbangkan ide-ide segar dan inovasi pada ekosistem restrukturisasi. “Hal ini memungkinkan mereka [praktisi insolvensi di Singapura] menangani isu-isu baru secara efektif, baik secara hukum maupun praktis,” ungkap Tay.
Sebagai catatan, regulasi insolvensi dan PKPU di Indonesia telah disahkan lebih dari 20 tahun lalu melalui UU No. 37 Tahun 2004. Undang-undang ini memang dinilai telah mencapai tujuannya. Namun dinamika perekonomian dan pasar kredit di Indonesia yang sudah jauh berbeda, forum diskusi Restructuring Insolvency & Governance Conference 2023 digelar untuk mengeksplorasi UU ini, sekaligus jadi langkah awal untuk menyempurnakan poin-poin di dalamnya. (KR)