Citi Indonesia: Lemahnya konsumsi rumah tangga butuh reformasi struktural, dukung sektor jasa
JAKARTA – Di tengah penurunan konsumsi rumah tangga nasional, Helmi Arman, Chief Economist Citi Indonesia, percaya bahwa salah satu kunci menghadapi masalah ini adalah pertumbuhan yang imbang untuk tiap sektor ekonomi, sekaligus menekankan pentingnya sektor ekonomi padat karya, seperti sektor jasa.
Menilik data IDN Financials, pertumbuhan konsumsi rumah tangga memang menurun di kuartal-II 2024 menjadi 4,93% dari 5,22% pada Q2 2023. Angka tersebut juga turun dari 5,52% yang tercatat pada Q2 2022.
“Pemerintah selalu menghitung bahwa PDB tumbuh stabil di level 5%. Namun, yang perlu kita perhatikan adalah bahwa 5% yang telah dipertahankan Indonesia ini sebenarnya mengalami perubahan struktural,” Arman menjelaskan saat sesi Economic Outlook dalam Citi Digital Leaders’ Summit 2024 Rabu lalu (7/8).
Perubahan struktural yang paling jelas terlihat adalah sektor penggeraknya, yang menurut Arman telah berubah dari konsumsi rumah tangga ke ekspor logam dasar, seperti nikel, yaitu pemeran utama di balik industri baterai EV.
“Permasalahannya adalah investasi dan ekspor besar-besaran untuk nikel dan baterai EV tidak lantas diteruskan ke konsumsi rumah tangga,” lanjut Arman.
Menurut analisis Citi Indonesia, ketimpangan ini menyebabkan k-shaped consumption. Perusahaan publik yang memiliki target pasar rumah tangga dengan pendapatan tinggi akan melaporkan pertumbuhan pendapatan lebih cepat dari PDB.
“Namun, jika kita melihat perusahaan yang menargetkan rumah tangga pendapatan rendah, pendapatan mereka rata-rata tumbuh lebih rendah dari PDB,” sebut Arman.
Arman percaya bahwa ada andil dalam tingkat pengangguran masyarakat Indonesia dalam isu ini. “Dari sekitar 2-3 juta yang masuk ke angkatan kerja per tahun, hanya sekitar 10% yang terserap ke dalam pekerjaan formal, yang berarti gaji dan status karyawan tetap,” tambahnya.
Sisanya, 90% dari potensi tenaga kerja yang ada harus puas dengan pekerjaan informal, yang berarti gaji yang hanya setengah dari yang ditawarkan pekerjaan formal.
“Hal lain yang kita butuhkan untuk mengatasi k-shaped consumption ini adalah pentingnya pertumbuhan pada sektor jasa,” jelas Arman saat presentasinya.
Menurut analisis Arman, pertumbuhan sektor jasa harus digarisbawahi, karena merupakan sektor ekonomi yang dianggap lebih padat karya dari sektor manufaktur.
Bersamaan dengan tenaga kerja yang memiliki pekerjaan yang lebih pasti, meningkat pula lah daya belinya. Kemudian, konsumsi rumah tangga pun akan membaik dan mendorong pertumbuhan PDB dengan lebih sehat dan seimbang.
“Yang diperlukan untuk memutarbalikkan k-shaped consumption ini adalah reformasi pada ekonomi,” sebut Arman.
Perubahan fundamental besar-besaran pada ekonomi ini dapat dimulai dari meningkatkan laju pertumbuhan investasi menjadi high single-digit, bahkan double digit, dari 4-5% yang tercatat sekarang. Lebih lanjut, Arman merasa adanya kebutuhan perombakan kebijakan fiskal.
“Kabar baiknya adalah ini tampaknya akan terjadi, karena Presiden Terpilih Prabowo kemungkinan besar akan meningkatkan defisit fiskal dan pengeluaran fiskal lebih tinggi dari yang biasa terlihat,” ujar Arman.
Bulan Juli lalu, memang terdapat rumor mengenai rencana Prabowo untuk meningkatkan rasio utang menjadi 50% dari PDB, mengikuti langkah negara-negara ASEAN yang mencatatkan rasio utang terhadap PDB di atas 50%, termasuk Malaysia, Singapura, dan Thailand. (ZH)