Bos BCA bicara soal Trump dan anomali bunga ORI
BANDUNG - Presiden Direktur PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), Jahja Setiaatmadja, menilai terpilihnya Donald John Trump sebagai presiden Amerika Serikat akan sedikit mengubah peta situasi perang, war-war, lose-lose, (Ukraina dan Rusia) di kawasan Eropa.
Sebab, dia menilai, Joe (Joseph Robinette) Biden Jr, presiden Amerika sebelumnya, terlalu emosional dan menjebak teman-temannya, negara-negara di kawasan Eropa.
Saat ini, kata Jahja, negara-negara yang paling menderita adalah Eropa. Di sisi lain, Amerika memiliki kepentingan terkait dengan kondisi perekonomiannya. Jika perang di Ukraina terus berlanjut, bagaimana cara Amerika bisa mengejar target pertumbuhan produk domestik brutto tahun 2025 sebesar 2,2 persen.
“Enggak mungkin, kecuali dia (Trump) bisa kompromi (meredakan perang Ukraina),” kata Jahja pada acara diskusi “Economic Outlook Indonesia, Prospek Ekonomi Makro Pasar Modal dan Perbankan Indonesia” yang merupakan rangkaian acara Top CEO Awards 2024 yang diselenggarakan Tempo dan IDN Financials, Jumat 15 November 2024.
Sekarang, ujar Jahja, terbukti terjadi anomali di Amerika, The Fed sudah menurunkan suku bunga sebesar 75 persen basis point, tetapi ternyata bunga Treasury Bills (T-Bills, surat berharga pemerintah AS), yang berjangka panjang, justru naik 70 basis point.
“Nah potret ini yang saya ambil, mengapa? Karena di negara kita sudah terjadi fenomena yang sama.”
Menurut Jahja, saat ini Sertifikat Berharga Negara (SBN) dan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) dan lain-lain di pasar sekunder (yield-nya) naik, bukannya turun.
“Ini tantangan bagi perbankan, karena kalau bunga SBN sebesar 6,5 persen hingga 7 persen, terus (bunga deposito) mau berapa. Mana bisa turun kalau bunga SBN semenarik ini.”
Kondisi bisnis di Indonesia, menurut dia, secara umum sepi. Sejak pandemi Covid, tahun 2020, 2021 dan 2022 daya beli masyarakat turun. Meskipun, kondisi saat itu daya beli masyarakat relatif lebih kuat dibanding saat ini karena beberapa hal.
Pertama, dahulu ada bantuan-bantuan sosial. Misalnya, saat terjadi pandemi Covid pemerintah menggelontorkan bansos-bansos (bantuan sosial) ke masyarakat dalam jumlah besar.
Kedua, perusahaan e-commerce di Indonesia dalam 1 tahun bisa menggelontorkan dana Rp100 triliun. “Ini bukan dana yang sedikit, dari hasil bakar duit investor asing yang masuk investasi di berbagai perusahaan e-commerce.”
Apa arti bakar uang mereka bagi perekonomian? Antara lain, jelas Jahja, biaya pengiriman barang dan jasa dipotong, harga barang lebih murah karena banyak diskon, para driver angkutan online banyak yang mendapat order. Jadi secara umum masyarakat saat itu mendapat tambahan income, bisa membeli barang dengan harga murah dan sebagainya,
“Masalahnya hal-hal itu semua sekarang stop. Bansos dihentikan pada saat yang sama aksi bakar uang dari e-commerce juga stop.”
Pendapat Jahja Setiaatmadja lebih lanjut selengkapnya bisa dilihat di sini. (MT)