INDY - PT. Indika Energy Tbk

Rp 1.395

-20 (-1,00%)

JAKARTA – PT Indika Energy Tbk (INDY) masih terseok-seok dalam proses ekspansi segmen non-batu baranya hingga September (9M) 2024. Divestasi PT Multi Tambang Jaya Utama (MUTU), serta turunnya harga batu bara, menekan pendapatannya hingga turun 22,4% year-on-year (yoy) per 9M 2024.

Perlu diketahui, sebagai bentuk ekspansi ke bisnis non-batu bara, INDY menanamkan investasi pada PT Masmindo Dwi Area yang mengoperasikan tambang emas Awakmas di Sulawesi Selatan.

Manajemen mengaku bahwa hingga September 2024, investasi pada Awakmas sudah mencapai US$238,9 juta, bahkan diproyeksikan mencapai US$429 juta hingga tahun 2026 mendatang.

Awakmas sudah dimiliki INDY sejak Oktober 2021. Dengan cadangan sebesar 1,5 juta ons, tambang ini berpotensi menghasilkan pendapatan lebih dari US$3 miliar hingga akhir masa tambang, dengan asumsi harga jual emas stabil di level US$2000 per ons.

Berdasarkan pemaparan manajemen, INDY pun memasang anggaran belanja modal terbesar untuk Awakmas tahun ini. Nilainya mencapai US$192,6 juta atau 72% dari total belanja modal tahun 2024 senilai US$267,7 juta. Namun, manajemen mengaku tambang ini baru akan memproduksi emas pada semester-II tahun 2026 mendatang.

Padahal, skala bisnis yang dibutuhkan untuk menutup absennya kontribusi MUTU sangat besar, dan umumnya hanya bisa diisi oleh industri seperti pertambangan mineral serta infrastruktur.

“Harapan kami ada di segmen logistik dan energy infrastructure, yaitu Tripatra, yang revenue-nya bisa mengisi gap-gap sebelum tahun 2026,” sebut Azis Armand, Wakil Presiden Direktur dan Group CEO INDY, saat ditemui di Public Expose INDY hari ini (20/11).

“Tripatra adalah EPC service provider, yang tengah mengembangkan kompetensi berbeda untuk mencapai berbagai area. Jadi 1-2 tahun ke depan, kami mengharapkan [kontribusi] dari Tripatra dan energy infrastructure,” jelas Armand lebih lanjut.

Selain tambang emas, INDY dikabarkan telah rampung mengakuisisi Natura Aromatik, produsen minyak atsiri, pada Januari lalu, yang menghabiskan nilai investasi hingga US$13,6 juta.

“Kami rasa ini adalah salah satu sektor yang punya potensi besar. Indonesia adalah eksportir terbesar ke-4 di dunia untuk essential oil dan extract,” tambah Armand. (ZH)