Airlangga: Tak mau parkir devisa di dalam negeri, izin ekspor dicabut

JAKARTA - Pemerintah Indonesia akan memberikan sanksi tegas bagi eksportir yang tidak mematuhi kewajiban menempatkan 100% devisa hasil ekspor (DHE) di sistem keuangan Indonesia dalam waktu minimal satu tahun.
“Eksportir yang tidak mematuhi ketentuan ini akan diberikan sanksi administrasi berupa penghentian (izin) ekspor,” kata Airlangga Hartarto, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dalam konferensi pers, Senin (17/2).
Kebijakan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8 Tahun 2025 mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) dari sumber daya alam (SDA), yang bertujuan memperkuat stabilitas ekonomi nasional dan mencegah praktik transfer pricing yang dapat merugikan negara.
Menurut Airlangga, kebijakan ini sejalan dengan praktik yang diterapkan di negara-negara seperti Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Di Malaysia dan Thailand, seluruh devisa hasil ekspor diwajibkan untuk dikonversi ke mata uang lokal, yakni ringgit dan baht.
Meskipun demikian, di Indonesia, dana tersebut masih dapat digunakan untuk operasional perusahaan dan membayar kewajiban dalam bentuk valuta asing.
Salah satu alasan diberlakukannya kebijakan ini adalah untuk mengatasi potensi praktik transfer pricing, di mana suatu perusahaan dapat mencatatkan ekspor dengan nilai yang lebih rendah di negara asal, sementara negara tujuan mencatatkan nilai yang lebih tinggi.
Pemerintah telah menetapkan mekanisme pengawasan berdasarkan benchmark masing-masing sektor industri untuk memastikan kepatuhan para eksportir.
“Pemerintah sudah punya benchmark masing-masing sektor. Jadi kalau sektor batubara, kira-kira tahu biayanya bagaimana. Sektor kelapa sawit, pemerintah juga sudah tahu biayanya seperti apa. Sehingga kalau mereka melakukan kegiatan di luar pola itu, bisa langsung dimonitor,” kata Airlangga. (DK)