JAKARTA – Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunda 90 hari penerapan tarif kepada sekitar 60 negara, kecuali China, diduga akibat kekacauan yang terjadi di pasar obligasi.

Trump jelas bersedia membiarkan pasar saham merosot setelah mengumumkan tarif "timbal balik"  besar-besaran terhadap sekutu dan musuh AS minggu lalu,  termasuk pungutan tarif yang menargetkan pulau-pulau Antartika yang sebagian besar dihuni oleh penguin.

“Namun, kehancuran di pasar obligasi yang kemungkinan mendorong Gedung Putih untuk mundur,” kata Marko Kolanovic, mantan Kepala Strategi Global di JPMorgan Chase & Co seperti dikutip MarketWatch.

Kolanovic mengatakan kepada MarketWatch pada Selasa malam bahwa dia yakin pemerintahan akan segera menarik kembali beberapa tarif yang diumumkan minggu lalu. 

Prediksi Kolanovic terbukti tepat. Pada Rabu (9/4) sore, Trump mengumumkan penundaan tarif  selama 90 hari sambil menaikkan tarif untuk produk China menjadi 125%.

"Ketika pasar obligasi runtuh, seluruh narasi mereka runtuh," kata Kolanovic kepada MarketWatch dalam wawancara lanjutan pada hari Rabu. "Pasar obligasi mungkin memaksa mereka untuk mengambil tindakan."

Imbal hasil obligasi negara (Amerika) yang melonjak lebih tinggi minggu ini, memicu kekhawatiran tentang kemungkinan krisis yang mungkin menekan Federal Reserve untuk turun tangan.Kekacauan di pasar saham AS telah menjalar ke pasar obligasi, memicu spekulasi tentang potensi guncangan yang dapat mengguncang sistem keuangan global.

Imbal hasil obligasi Treasury AS bertenor 10 tahun (TMUBMUSD10Y) telah naik sebanyak 65 basis poin dalam empat hari perdagangan terakhir, sempat menyentuh 4,509% pada Rabu malam seiring mulai berlakunya tarif impor luas yang diberlakukan oleh Trump.

Kenaikan imbal hasil sebesar ini belum terjadi sejak Oktober 2008, menurut data dari Dow Jones Market Data. Imbal hasil obligasi 10 tahun terakhir berada di angka 4,50% pada Februari. Imbal hasil obligasi bergerak berlawanan dengan harga, yang naik ketika harga turun.

Aksi jual besar-besaran di pasar saham dan obligasi terjadi secara bersamaan, menekan likuiditas pasar. “Ini belum sampai pada tahap krisis,” kata Robert Tipp, Kepala Strategi Investasi di PGIM Fixed Income, seperti dikutip MarketWatch. Namun ia menyatakan bahwa dinamika pasar yang labil ini berisiko "menular" dan menguasai Wall Street.

“Ini seperti obral besar-besaran Treasury,” kata Calvin Yeoh, manajer portofolio di hedge fund Blue Edge Advisors. “Saya belum pernah melihat pergerakan atau volatilitas sebesar ini sejak kekacauan akibat pandemi pada 2020,” ujarnya kepada Bloomberg.

Akhir minggu ini, lanjut Kolanovic, perusahaan-perusahaan akan mulai melaporkan pendapatan untuk kuartal pertama, yang mungkin dipengaruhi oleh semua ketidakpastian seputar agenda perdagangan Trump.  Hal tersebut bisa memicu lebih banyak volatilitas pada saham.  "Saya tidak serta merta akan mengejar reli ini."

"Saya lebih melihat harga wajar yang masuk akal sekarang, mengingat musim laporan laba akan segera tiba."

Tetapi Kolanovic menyukai obligasi saat ini. "Obligasi masih belum reli. Mereka masih turun banyak," katanya.

Mengenai apakah agenda perdagangan Trump telah diselesaikan secara definitif, Kolanovic mengatakan. "Saya tidak berpikir orang-orang Eropa akan tiba-tiba memberikan semua yang Trump inginkan,"

Tetapi penurunan Indeks Volatilitas Cboe atau VIX yang dikenal sebagai "pengukur ketakutan" Wall Street, menunjukkan bahwa pasar kemungkinan akan tenang, setidaknya untuk sementara. Kolanovic meragukan pasar akan melihat lebih banyak ayunan besar.

VIX telah turun lebih dari 32% menjadi 35,66 pada hari Rabu. "Saya tidak berpikir kita akan kembali ke level tertinggi sepanjang masa. Saya akan bersikap agak netral di sini."

VIX sering disebut sebagai “indeks ketakutan (fear index)” karena naik saat investor merasa cemas terhadap ketidakpastian atau potensi penurunan pasar. Jika VIX tinggi, pasar diprediksi akan berfluktuasi dengan tajam (bisa naik atau turun). Sebaliknya jika Jika VIX rendah, pasar dianggap lebih stabil. (MT)