Rupiah anjlok, neraca perbankan masih aman?

JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) memastikan bahwa eksposur langsung sektor perbankan nasional terhadap risiko nilai tukar masih tergolong rendah, meskipun nilai tukar rupiah mendekati angka Rp17.000 per dolar AS.
Dian Ediana Rae, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, mengungkapkan bahwa posisi devisa neto (PDN) bank per Februari 2025 hanya berada di level 1,55%, jauh di bawah ambang batas maksimum sebesar 20%.
“Ini menunjukkan bahwa eksposur langsung perbankan terhadap risiko nilai tukar sangat kecil,” ujar Dian, dalam konferensi pers Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) pada Jumat (11/4) lalu.
Ia menambahkan, pelemahan rupiah tidak akan memberikan dampak signifikan secara langsung terhadap neraca bank. Hal ini dikarenakan sebagian besar kredit dalam valuta asing (valas) disalurkan kepada debitur yang memiliki pendapatan dalam bentuk valas, khususnya pelaku ekspor.
“Kondisi ini disebut sebagai naturally hedged atau lindung nilai alami, jadi sebenarnya tidak menimbulkan volatilitas yang berarti,” katanya.
Dian juga menyampaikan bahwa posisi devisa neto perbankan saat ini berada dalam posisi long, artinya bank memiliki lebih banyak aset dalam bentuk valas dibandingkan kewajiban.
Dengan demikian, saat terjadi depresiasi rupiah, nilai aset bank justru meningkat, yang pada akhirnya bisa berdampak positif terhadap profitabilitas bank.
Lebih lanjut, OJK mencatat bahwa pertumbuhan kredit valas per Februari 2025 mencapai 16,30% year-on-year (yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan Dana Pihak Ketiga (DPK) valas yang sebesar 7,09% (YoY).
Hal ini mendorong peningkatan rasio loan to deposit ratio (LDR) valas menjadi 81,43% dari sebelumnya 74,98% pada tahun lalu.(DK)