Investor asing obral terus obligasi pemerintah Amerika, pertanda apa?

NEW YORK – Pasar obligasi di Amerika Serikat kembali terguncang Jumat kemarin (11/04) menyusul aksi jual besar besaran obligasi pemerintah oleh investor asing seiring dengan menurunnya kepercayaan terhadap perekonomian Amerika Serikat
Menyusul penjualan besar besaran tersebut, yield surat utang pemerintah Amerika, atau US Treasury, bertenor 10 tahun, seperti dilansir Refinitiv, melesat ke 4,497% pada perdagangan terakhir pekan ini, Jumat (11/4). Level ini adalah yang tertinggi sejak 20 Februari 2025. Yield US Tresury 10 tahun dalam sepekan meningkat 0,506 bps atau terbesar sejak 2001.
Swap spread obligasi bertenor 30 tahun sempat melebar melewati -100 basis poin, level negatif tertinggi sejak pandemi. Imbal hasil 10 tahun naik lebih dari 40 basis poin, sementara imbal hasil 30 tahun melonjak 60 basis poin - menuju lonjakan mingguan terbesar sejak 1981.
Penjualan obligasi AS diperkirakan menembus nilai US$29 triliun atau senilai dengan Rp 486.910 triliun (US$ 1=Rp 16.790).
Nilai imbal hasil yang melonjak berbanding terbalik dengan harga yang turun memberikan indikasi menurunnya permintaan terhadap surat obligasi tersebut. Harga obligasi jatuh karena investor ramai-ramai menjualnya.
Belum diketahui dengan jelas apakah yang menjual obligasi besar-besaran tersebut salah satu di antaranya adalah pemerintah China.
Menurut data Departemen Keuangan Amerika, pemilik asing obligasi pemerintah AS memang telah mengalami penurunan pada November 2024 dari sebesar US $8,633 triliun menjadi sebesar $8,513 triliun pada Desember 2024.
Dua negara terbesar pemegang obligasi AS, adalah Jepang dan China. Jepang tercatat mengurangi kepemilikannya dari $1,087 triliun menjadi $1,060 triliun pada Desember 2024. Sedangkan China menurunkan kepemilikannya dari $768,6 miliar menjadi $759 miliar.
"Tekanan besar dirasakan secara global untuk menjual obligasi pemerintah dan obligasi korporasi. Ada kekhawatiran besar karena mereka tidak tahu ke mana arah kebijakan Trump," kata Peter Tchir dari Academy Securities, seperti dikutip Reuters.
Seorang eksekutif bank Eropa di divisi perdagangan utama menambahkan pergerakan harga obligasi menunjukkan sesuatu yang lebih serius dari sekadar penjualan normal. Kondisi ini mencerminkan hilangnya kepercayaan total terhadap pasar obligasi terkuat di dunia tersebut.
Sebelumnya, dana obligasi global mengalami arus keluar mingguan terbesar, dalam lebih dari lima tahun, pada 9 April 2025 lalu. Menurut data LSEG Lipper, investor menarik dana bersih sebesar $25,71 miliar dari dana obligasi global selama pekan tersebut, jumlah mingguan terbesar sejak 1 April 2020.
Kevin Hassett, Direktur Dewan Ekonomi Nasional Presiden Amerika Donald Trump, mengatakan bahwa fakta menunjukkan pasar obligasi memberi sinyal kepada AS untuk mengubah haluan. Kepala Strategi Global di Principal Asset Management, Seema Shah, menambahkan bahwa pasar obligasi kemungkinan memicu kegelisahan di pemerintahan Trump.
"Mereka berulang kali menekankan fokus pada imbal hasil obligasi dan bahkan merayakannya minggu lalu ketika yield turun di bawah 4%. Jadi pembalikan tren pasar, saat yield melonjak, jelas memicu kekhawatiran besar di Gedung Putih," kata Shah, kepada CNBC International.
Sebelumnya kekacauan pasar obligasi Amerika diduga merupakan kejadian yang memaksa Trump menunda kenaikan tarif selama 90 hari. (DK/MT)